Wednesday, 26 July 2017

MALAYSIA DAN BENAK BTN



Kewajipan taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah karut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.
Tindak tanduk penguasa, kerjasama pemerintah dengan Barat (baca: kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang ‘sekadar’ demonstrasi, hingga yang berujud pemberontakan fizik.
Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar.
Yang menyedihkan, Islam atau jihad justeru yang paling laris dijadikan tameng untuk melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka bahkan ada yang menjadikan tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga mati dari tujuan dakwahnya. Mereka pun berangan-angan, seandainya kejayaan Islam di masa khalifah Abu Bakr dan Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma dapat tegak kembali di masa kini.
Jika diibaratkan, apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti “menunggu hujan yang turun, air di bejana ditumpahkan”. Mereka sangat berharap akan tegaknya khilafah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, namun kewajiban yang Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada mereka terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka, justru dilupakan. Padahal dengan itu, Allah ‘azza wa jalla akan mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum muslimin.

Wajibnya Taat kepada Penguasa Muslim

Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapa pun buruk dan zalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang nyata. Allah ‘azza wa jalla juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kezaliman mereka dan tetap berjalan di atas As-Sunnah.
Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada penguasanya maka matinya mati jahiliah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla seperti keadaan orang-orang jahiliah.[1] (Lihat ucapan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah rahimahullah, dia berkata, “Kami masuk ke rumah Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu ketika beliau dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya, ‘Sampaikanlah hadits kepada kami—aslahakallah (semoga Allah ‘azza wa jalla memperbaiki keadaanmu)—dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Allah ‘azza wa jalla akan memberikan manfaat bagi kami!’ 

 Maka ia pun berkata,
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعَنَاَ، فَكَاَنَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطاَّعَةِ، فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرَا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara bai’atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak—beliau berkata—kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hlm.192, cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut, cet. 1)


Wajib Taat Walaupun Jahat dan Zalim

Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, zalim, atau melakukan banyak kejahatan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah ‘azza wa jalla dengan memberikan hak mereka, iaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا؟
“Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak, red.) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”
Mereka (para sahabat, red.) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu… (disebutkan kejelekan-kejelekan).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’.” (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah dan lain-lain. Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 32)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kezaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hlm. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyah Mesir)
Sedangkan menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah, “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kezaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kezaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)

Tetap Taat Walaupun Cacat

Meskipun penguasa tersebut cacat secara fizik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya. Namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa—baik dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan—maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu mentaatinya (pada perkara tersebut) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata:
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَ أَطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).[2] (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut. HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, hlm. 54)
Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah, dia berkata, “Berkata kepadaku ‘Umar radhiallahu ‘anhu, ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini… Jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah!”
Wallahu a’lam.

EDU GENERASI MUKA



Bangsa Eropah paling popular di dunia adalah bangsa Rom. Rom adalah sebuah wilayah yang berada di negara Itali. Jika dulu, Rom adalah sebuah empayar yang merentasi Asia dan Eropah Timur. Jika dibandingkan dengan sempadan negara Itali yang ada sekarang, ia bergitu kecil berbanding empayar Rom  yang besar dan kaya-raya.
Rom pernah bersengketa dengan beberapa empayar seperti Empayar Parsi, Mesir dan bangsa-bangsa yang mereka gelarkan sebagai bangsa gasar atau Barbarian. Jika dibaca buku sejarah, musuh utama Rom adalah Parsi dan Mesir. Antara perang besar melibatkan Rom dan kedua-dua empayar tersebut adalah Battle of Nile pada Februari 47BC antara Rom dan Mesir, Battle of Singara pada 344AD antara Rom dan Parsi, Battle of Edessa pada 260 antara Rom dan Parsi dan banyak lagi.
Namun, fakta itu tidak benar sama sekali. Musuh utama Rom adalah bangsa-bangsa yang Rom gelarkan Barbarian. Bahkan kejatuhan Rom pada abad ke-5 banyak disebabkan oleh peperangan dengan ‘bangsa Barbarian’. Apa yang dimaksudkan dengan Barbarian?

Pengertian Barbarian

Barbarian adalah perkataan yang dipinjam daripada Yunani atau Greek yang bermaksud ‘bukan daripada kalangan orang Greek’. Namun, masa berganti masa, bulan berganti bulan dan bergitu juga dengan istilah ini apabila istilah Barbarian akhirnya sinonim dengan bangsa yang tidak bertamadun dan tidak beragama.
Bagi orang Greek atau Yunani, mereka menganggap bangsa lain adalah mundur dan tidak bertamadun sedangkan perkara yang sebenarnya tidak sebergitu kerana bangsa-bangsa lain mempunyai tamadun mereka yang tersendiri.
Lihat sahaja tamadun yang dibina di Petra, Mesir dan Parsi yang sezaman dengan mereka. Mereka bukan sahaja bertamadun tetapi jauh lebih hebat daripada mereka. Malah, ahli sejarah mereka,Herodotus juga kagum dengan kerajaan Mesir yang berjaya membina Piramid yang seketul batunya sahaja setinggi manusia dewasa.
Tetapi, mengapa mereka sering melabelkan bangsa-bangsa selain mereka(Rom dan Yunani) adalah bangsa mundur?Fakta ini turut diperakui bulat-bulat oleh kebanyakkan buku-buku sejarah termasuklah buku teks sejarah yang diajar di Malaysia?mengapa perkara sebergini terjadi?

Faktor Keagamaan?

Perlu diketahui bahawa sekitar awal abad ke-2, agama Kristian telah giat disebarkan oleh mubaliqh-mubaliqh mereka ke serata dunia terutama ke rantau Eropah. Agama Kristian seringkali dikaburkan dengan dakwaan bahawa empayar Rom adalah empayar yang pertama memeluk agama Kristian. Dakwa mereka lagi, Constatine the Great adalah maharaja pertama di Eropah yang memeluk kristian pada 314M. Namun, ia langsung tidak benar.
Agama Kristian sebenarnya mula dianuti oleh bangsa-bangsa yang bangsa Rom gelarkan ‘barbarian’. Antara bangsa yang dikatakan ‘barbarian’ itu adalah Goth, Vandals, Alans, Thervingi dan Langobard.

-even the MORON have a dream-

Monday, 24 July 2017

AS WHAT DR. AHMAD KAMAL BIN ARIFFIN OBSERVE


NOTHING TO HIDE

Bahasa Melayu:  the national language

Historically, BM was the language for trading in the marketplaces and ports.  Thus the language has gained for itself the reputation of being the lingua franca of the Malay-archipelago of the yesteryear.  The language is still widely spoken in Malaysia, Indonesia, and Brunei.  Many Singaporean and Southern Thais also speak the language.  Today close to 400 million people speaks the language worldwide.

The development of the language can be viewed from its usage and knowledge corpus.  In the bygone days, the language was fully developed as a language capable of satisfying the need of the society.  Communication between kingdoms then was in this language (Asmah, 1985;  Tham, 1990).  Later it was used within the Malay-speaking community for intra-group communication, encompassing the literature, culture, philosophy, and religion of the Malays.  In addition it was also the language of administration in the Malay states.

The 1967 National Language Act (NLA) was a milestone that set the stage for development of BM.  The Act not only recognizes the language as the national language, in line with the Article 152 (1) of the Constitution of Malaysia, but also as the official language to be used for the government administrative purposes.  Among other salient features of the NLA are:  (1) BM is to be utilized as the medium of instruction in all national schools and a required subject to pass the PMR (lower secondary assessment) and SPM (Malaysian Certificate of Education/O level), (2) BM is a main language of instruction in public institutions of higher learning, (3) BM is mandatory subject in non –national schools (schools not using BM as the major language of instruction), and (4) English is a mandatory subject in all schools (Hassan, 2002).

Another significant development of BM occurred in 1972 with the formation of a committee and subsequently the sealing of the Malaysia-Indonesia Spelling Agreement to standardize the spelling system between the two countries.  With the agreement, assimilation of scientific terms from foreign sources (especially English) into BM, the language became simpler and thus paving the way for its intellectualization. 

English:  a colonial legacy

The language of the government in the colonial days was English.  In written communication with the public, four languages were used namely English, BM, Mandarin and Tamil.  This quadrilingual situation was also extended to the education system.  The colonial education system then consisted of four types of school using four different languages and different set of curricula.  They were known as the English school, the Malay school, the Chinese school and the Tamil school.

The English school was initially set up mainly for those of high-class birth (children of Malay elites) and those with money (children of Chinese tin miners and businessmen and the Indian merchants).  The colonial policy of encouraging communal cooperation among the elites while separating the masses, created the image of English as ‘the language of the privileged, prosperous, and modern or up-to-date group’ (Mead, 1988, p 23).

Henceforth, the government felt that although English could have brought about educational advancement to the population, ‘it would not have fulfilled the principle of equality’ (Asmah, 1985, p. 66).  The formulation and the implementation of the NLA were also meant to address this issue.  The NLA not only ascribed BM to its sole national language status, but also enabled English to be accessed by the masses.  As the second most important language, English is to be learnt by every school child the moment he or she enters school.  It took 12 years beginning the year 1970 for the process of converting the medium of instruction from English to BM to be completed.  All Malay and English schools were later declassified as National schools.

The strengthening of the BM seems to have reciprocal effect to English.  The level of proficiency of English among the general population deteriorates.  Measures were taken to strengthen English.  The move sparked predictable fears that it could lead to the diminishing role of BM (Asiaweek, 1995).  Fearing that Malaysia will become less competitive economically in the future with the continued deterioration of English usage among the population, the government took a drastic step to prevent further decline (Asia Times Online, 2002).  Beginning 2003, English is to be used as a medium of instruction in selected core subjects within the education system.  The new directive has far reaching implication to the years of effort to develop and promote the use of BM.  There were even directives for government departments to encourage the use of English in their day-to-day transactions with the public.  This implicit reversal of the language policy created a stormy stir in the nation. 

The tussle for supremacy

Although BM is enshrined by the constitution, English remains the major challenger and competitor.  The following further deliberates on issues/contradictions that affect their competition.

Implementation of National Language Policy and political willpower

The National Language Policy (NLP) had been formulated to guide the implementation of BM and other languages in the country.  The implementation strategy may be viewed as ‘limited’ or ‘unlimited’ (Hassan, 2002).  For example according to Article 152 (1) of the Constitution of Malaysia and NLA 1967, the use of BM as the ‘official language is limited to the government administrative function, specifically in public administration, judiciary and legislation.’  Thus according to the NLP the government cannot extend the function of BM beyond the public official administrative function, for example in the private sector.

Hassan (2002) argued that since BM is a National and official language, the NLP should be implemented without limitation.  For example, the mandatory use of BM in government official functioning does not mean that BM cannot be used beyond the scope. The narrow interpretation of the NLP leads to conflicting implementation strategies. 

Lack of political commitment also affects the implementation of NLP.  The reversal to use English for selected core subjects in school after years of BM is a political directive.  Some politicians take advantage of the language issue to garner public support.



Language utilization

Proficiency in a language and using it is two different issues.  Despite the policy and education system in BM, English continues to be popularly used in certain segment of the population.  A communication pattern is affected by the user’s attitude (Asmah, 1985).  The saying ‘old habits die hard’ is appropriate in describing the way a Malaysian communicates. 
English had reigned supreme for more than a century in this country.  Many Malaysian leaders, scientists and educationists are at one stage or another during schooling or in their profession were trained in English.  The language remains to be commonly used by them, town folks, and the private sector.  A report by Asmah (1985, p. 164) describes the reality of the situation: 

At the unofficial level, English is spoken in almost every aspect of Malaysian life, particularly in the urban areas. In private and multi-national firms, it seems to be the language of the management group. English is spoken widely in shopping centers although the variety in used is mostly Malaysian English. Interaction among educated Malaysians, especially those who have had their education via the English language medium, may take place in English regardless whether the participants involved carry out their discourse entirely in English or not….

English remains a passport for better job and high position especially in private sector.  Banks, hotels and many local and especially foreign and multinational firms employ executives who are fluent in English.  English is a necessary qualification even in certain public agencies.  The government policy of requiring business organizations to employ at least 30 % indigenous people, resulting in these people filling up the lower rungs of the professional ladder.  One of the reasons given is the lack of fluency in English among the indigenous people.  The requirement for English fluency for economic and social gains contributes to English maintaining its prestige.  Since only 27% of the population is proficient in the language, it appears that the condition for economic and social gain is more available to the minority. 



Availability of learning resources

Dewan Bahasa dan Pustaka puts intensive effort to translate books into BM.  Translation is time consuming and costly.  Unlike Japan, the rate is not catching up with worldwide production of learning resources in English.  Despite translation and local knowledge generation, there is still a dearth of books and other learning resources in BM.  Most references at institution of higher learning are only available in English.  Lack of reading materials in BM remains an issue in adult education in Malaysia (Mazanah, 2001b). 

Globalization and development of information communication technology

The world is fast becoming smaller.  English is one of the global international languages.  The population competency in English is an asset for the country to become one of the world players economically and politically.
Information communication technology (ICT) plays a critical role in the globalize world connecting people across place and culture.  ICT is an essential economic, political and social tool.  As a learning tool ICT makes education accessible at any time, any place, by any body.  Developed by the west, English is the ICT language.  English speaking learners have better access to worldwide educational resources through ICT like Internet. 

Competition or cooperation?
The analysis reveals that as a national language BM is crucial for the nation’s interest.  The language is making rapid progress in all fields.  The established, global English language also has lots to offer.  Both languages have their role in the nation’s development.  Both have their advantages and disadvantages.  Although the constitution enshrines their respective place, there seem to be a tug of war between them.  Taking consideration of the journey made, contemporary situation, and future challenges, Malaysians need to critically reflect what is best for them.  Should we place the importance on English by neglecting BM or vice versa, or should we take full advantage of both?  In other word, should it be a win-lose relationship or a win – win situation?