Kewajipan taat kepada pemerintah merupakan
salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah karut-marutnya kehidupan
politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding
sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini
telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.
Tindak tanduk penguasa, kerjasama pemerintah dengan Barat
(baca: kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan
pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang ‘sekadar’ demonstrasi, hingga
yang berujud pemberontakan fizik.
Meski
terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah
mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya,
sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar.
Yang
menyedihkan, Islam atau jihad justeru yang paling laris dijadikan tameng untuk
melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka bahkan ada yang
menjadikan tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga mati dari tujuan
dakwahnya. Mereka pun berangan-angan, seandainya kejayaan Islam di masa
khalifah Abu Bakr dan Umar bin al-Khaththab radhiallahu
‘anhuma dapat tegak kembali di masa kini.
Jika diibaratkan,
apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti “menunggu hujan yang
turun, air di bejana ditumpahkan”. Mereka sangat berharap akan tegaknya
khilafah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu,
namun kewajiban yang Allah ‘azza wa jalla
perintahkan kepada mereka terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka, justru
dilupakan. Padahal dengan itu, Allah ‘azza
wa jalla akan mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum
muslimin.
Wajibnya
Taat kepada Penguasa Muslim
Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan
kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapa pun buruk dan
zalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak
menampakkan kekafiran yang nyata. Allah ‘azza
wa jalla juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kezaliman
mereka dan tetap berjalan di atas As-Sunnah.
Karena
barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada
penguasanya maka matinya mati jahiliah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat
kepada Allah ‘azza wa jalla
seperti keadaan orang-orang jahiliah.[1]
(Lihat ucapan al-Imam an-Nawawi rahimahullah
dalam Syarah Shahih Muslim)
Dari Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma,
dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia
sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barang siapa yang memisahkan
diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati
jahiliah.” (Sahih, HR. al-Bukhari
dan Muslim)
Diriwayatkan
dari Junadah bin Abu Umayyah rahimahullah,
dia berkata, “Kami masuk ke rumah Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu ketika beliau dalam
keadaan sakit dan kami berkata kepadanya, ‘Sampaikanlah hadits kepada kami—aslahakallah (semoga Allah ‘azza wa jalla memperbaiki
keadaanmu)—dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dengannya Allah ‘azza wa jalla akan
memberikan manfaat bagi kami!’
Maka ia pun berkata,
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعَنَاَ، فَكَاَنَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطاَّعَةِ، فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرَا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara bai’atnya adalah agar
kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun
tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami
diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan
kepemimpinan dari orang yang berhak—beliau berkata—kecuali jika kalian melihat
kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hlm.192, cet.
Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya’ut
Turats al-Arabi, Beirut, cet. 1)
Wajib Taat
Walaupun Jahat dan Zalim
Kewajiban
taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, zalim, atau melakukan banyak kejahatan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah ‘azza wa jalla dengan memberikan hak
mereka, iaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا؟
“Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang
yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang
yang berhak, red.) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”
Mereka
(para sahabat, red.) bertanya, “Apa
yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka
dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan
pula dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu,
dia berkata, “Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang
ketaatan kepada orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan
begitu… (disebutkan kejelekan-kejelekan).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan
taatlah!’.” (Hasan
lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah dan lain-lain.
Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm.
32)
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,
“Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap
kezaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip
dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa
juz 28, hlm. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyah Mesir)
Sedangkan
menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah,
“Kesimpulannya adalah sabar terhadap kezaliman penguasa dan bahwasanya tidak
gugur ketaatan dengan kezaliman mereka.” (Syarah
Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
Ibnu Hajar
rahimahullah berkata, “Wajib
berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka
bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil
Bukhari)
Tetap Taat
Walaupun Cacat
Meskipun
penguasa tersebut cacat secara fizik, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan kita untuk tetap mendengar
dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari
Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya. Namun jika seseorang yang tidak
memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa—baik dengan pemilihan, kekuatan
(kudeta), dan peperangan—maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan
dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada
kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu mentaatinya (pada perkara tersebut) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
Diriwayatkan
dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
bahwa dia berkata:
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَ أَطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar
aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong
hidungnya (cacat).[2]” (Sahih, HR. Muslim
dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut. HR. al-Bukhari
dalam al-Adabul Mufrad,
hlm. 54)
Juga
diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah,
dia berkata, “Berkata kepadaku ‘Umar radhiallahu
‘anhu, ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak
tahu apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini… Jika dijadikan amir
(pemimpin) atas kalian seorang hamba dari
Habasyah, terpotong hidungnya maka
dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu
hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah
aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu
jangan memisahkan diri dari jamaah!”
Wallahu a’lam.